Beranda | Artikel
Hukum Bekerja di Tempat Orang Kafir
Rabu, 1 Oktober 2014

Hukum Bekerja di Tempat Orang Kafir

Ditulis oleh ustadz Ammi Nur Baits

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, amma ba’du,

Islam membolehkan kaum muslimin bermuamalah dengan orang non muslim. Bahkan  tradisi semacam ini makruf dilakukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Mereka bermuamalah dengan orang yahudi di sekitar Madinah. Dan sebelumnya, kaum muslimin juga bermuamalah dengan masyarakat musyrikin Quraisy yang merupakan musuh besar mereka.

Imam Bukhari membawakan bab dalam kitab shahihnya,

باب الشراء والبيع مع المشركين وأهل الحرب

Bab jual beli bersama orang musyrikin dan kafir harbi.

Kemudian beliau membawakan riwayat dari Abdurrahman bin Abi Bakr Radhiyallahu ‘anhuma, bahwa beliau pernah bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian datang seorang musyrik rambutnya kusut, badannya tinggi, membawa beberapa ekor kambing. Lalu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya,

بَيْعًا أَمْ عَطِيَّةً

‘Mau dijual ataukah mau dikasihkan?’

‘Mau dijual.’ Jawab orang musyrik itu.

Kemudian Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membelinya satu ekor. (HR. Bukhari 2216).

Imam al-Bukhari juga membuat judul bab,

باب الأسواق التي كانت في الجاهلية فتبايع بها الناس في الإسلام

Bab pasar-pasar di masa Jahiliyah, yang digunakan untuk jual beli masyarakat setelah datang islam.

Kemudian beliau membawa riwayat keterangan dari Ibnu Abbas,

كَانَتْ عُكَاظٌ وَمَجَنَّةُ وَذُو الْمَجَازِ أَسْوَاقًا فِى الْجَاهِلِيَّةِ ، فَلَمَّا كَانَ الإِسْلاَمُ تَأَثَّمُوا مِنَ التِّجَارَةِ فِيهَا ، فَأَنْزَلَ اللَّهُ ( لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ ) فِى مَوَاسِمِ الْحَجِّ

Dulu, Ukadz, Majannah, dan Dzul Majaz adalah pasar-pasar di masa Jahiliyah. Setelah berkuasa, para sahabat merasa enggan untuk berdagang di sana. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya, (yang artinya) ‘Tidak ada dosa bagi kalian…’ ketika musim haji. (HR. Bukhari 2098).

Syaikhul Islam juga menyebutkan dalil lain yang membolehkan bermuamalah dengan orang kafir sekalipun dia kafir harbi. Beliau mengatakan,

إن الرجل لو سافر إلى دار الحرب ليشتري منها، جاز عندنا، كما دل عليه حديث تجارة أبي بكر -رضي الله عنه- في حياة رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى أرض الشام، وهي دار حرب

Apabila ada orang yang melakukan safar ke darul harbi (negeri orang kafir harbi), untuk memberli sesuatu darinya, hukumnya boleh menurut pendapat kami. Sebagaimana yang ditunjukkan dalam hadis tentang berdagangnya Abu Bakr Radhiyallahu ‘anhu ke negeri Syam di masa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Padahal negeri Syam ketika itu termasuk darul harbi. (Iqtidha as-Shirat al-Mustaqim, 2/15)

Semua keterangan di atas menunjukkan bahwa muamalah dengan orang kafir, termasuk tradisi yang dilakukan para sahabat dan kaum muslimin sejak masa silam.

Beberapa Keterangan Ulama Tentang Batasan Muamalah dengan Orang Kafir

Al-Khallal menyebutkan keterangan dari salah satu murid Imam Ahmad, yang bernama Muhanna, beliau mengatakan,

سألت أحمد عن شهود هذه الأعياد التي تكون عندنا بالشام، مثل: طور يانور ودير أيوب وأشباهه، يشهده المسلمون، يشهدون الأسواق، ويجلبون  الغنم فيه، والبقر، والدقيق والبر، والشعير، وغير ذلك، إلا أنه إنما يكون في الأسواق يشترون، ولا يدخلون عليهم بيعهم؟

‘Saya pernah bertanya kepada Imam Ahmad tentang hukum mendatangi beberapa perayaan (nasrani) yang ada di Syam, sepeti Thuryanur, atau Dir Ayub, atau semisalnya. Kaum muslimin ikut menyaksikannya dan mendatangi pasar yang digelar di perayaan itu. Mereka membawa kambing, sapi, tepung, gadum, dan barang lainnya. Mereka hanya mendatangi pasarnya, untuk jual beli, dan tidak masuk ke kuil nasrani.’

Jawaban Imam Ahmad,

إذا لم يدخلوا عليهم بيعهم، وإنما يشهدون السوق فلا بأس

Apabila mereka tidak sampai masuk ke kuil orang kafir, namun hanya datang ke pasarnya, tidak masalah. (Iqtidha as-Shirat al-Mustaqim, 1/517).

Kemudian Syaikhul Islam menjelaskan keterangan Imam Ahmad di atas,

ما أجاب به أحمد من جواز شهود السوق فقط للشراء منها، من غير دخول الكنيسة فيجوز؛ لأن ذلك ليس فيه شهود منكر، ولا إعانة على معصية؛ لأن نفس الابتياع منهم جائز، ولا إعانة فيه على المعصية

Jawaban Imam Ahmad, yang membolehkan mendatangi pasar hanya untuk membeli, tanpa masuk ke gereja, bisa dibenarkan. Karena sebatas datang ke pasar, tidak ada unsur menyaksikan kemunkaran, atau membantu orang kafir untuk bermaksiat. Disamping itu, jual beli dengan mereka (orang kafir) pada asalnya boleh, dan tidak termasuk membantu mereka untuk maksiat. (Iqtidha as-Shirat al-Mustaqim, 2/14).

Beliau juga mengatakan,

أما بيع المسلمين لهم في أعيادهم، ما يستعينون به على عيدهم، من الطعام واللباس والريحان ونحو ذلك، أو إهداء ذلك لهم، فهذا فيه نوع إعانة على إقامة عيدهم المحرم

Sementara kegiatan kaum muslimin berupa menjual kepada orang kafir ketika hari raya mereka, berupa barang yang membantu mereka untuk menyelenggarakan hari raya, seperti makanan, pakaian, parfum, atau semacamnya, atau menghadiahkan barang-barang itu untuk mereka, maka semacam ini termasuk bentuk membantu terselenggaranya hari raya mereka yang hukumnya haram. (Iqtidha as-Shirat al-Mustaqim, 2/15)

Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan hadis Bukhari tentang bolehnya bermuamalah dengan orang kafir harbi. Beliau menukil keterangan Ibnu Batthal,

قال بن بطال معاملة الكفار جائزة إلا بيع ما يستعين به أهل الحرب على المسلمين

Ibnu Batthal mengatakan, ‘Bermuamalah dengan orang kafir dibolehkan, kecuali untuk jual beli yang membantu orang kafir harbi untuk mengalahkan kaum muslimin.’ (Fathul Bari, 4/410).

Imam Buhkari juga menyebutkan bab dalam shahihnya,

باب بيع السلاح في الفتنة وغيرها

Bab tentang hukum menjual senjata di zaman fitnah (zaman genting) atau semacamnya

Kemudian Bukhari membawakan riwayat dari Abu Qatadah bahwa ketika perang Hunain, beliau diberi baju besi oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian baju besi itu dijual kepada orang kafir dari Bani Salamah dengan harga sepetak kebun.

Al-Hafidz menjelaskan maksud Bukhari,

ويحتمل أن المراد بإيراد هذا الحديث جواز بيع السلاح في الفتنة لمن لا يخشى منه الضرر لأن أبا قتادة باع درعه في الوقت الذي كان القتال فيه قائما بين المسلمين والمشركين وأقره النبي صلى الله عليه و سلم على ذلك والظن به أنه لم يبعه ممن يعين على قتال المسلمين فيستفاد منه جواز بيعه في زمن القتال لمن لا يخشى منه

Dipahami dari maksud Bukhari dengan membawakan hadis di atas, adalah boolehnya menjual senjata di zaman fitnah, kepada orang yang tidak dikhwatirkan mengganggu kaum muslimin. Karena Abu Qatadah menjual baju besinya di waktu terjadi perang antara kaum muslimin dengan orang musyrik. Dan itu disetujui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan dugaaan kuat yang kita berikan, bahwa beliau tidak menjual itu kepada orang yang akan membantu orang musyrik memerangi kaum muslimin. Sehingga disimpulkan dari hal itu, bolehnya menjual senjata di zaman perang, bagi orang yang tidak ditakutkan membahayakan. (Fathul Bari, 4/323).

Dari beberapa keterangan di atas, ada beberapa kesimpulan yang bisa kita catat,

Pertama, dibolehkan melakukan muamalah kepada semua orang kafir, tak terkecuali kafir harbi dengan batasan yang nanti disebutkan.

Kedua, Muamalah dengan orang kafir, sudah menjadi tradisi sejak zaman sahabat.

Ketiga, Memberi keuntungan duniawi kepada orang kafir, bukan termasuk mendukung kekufuran mereka. Sekalipun biisa jadi, keuntungan harta yang mereka dapatkan, akan digunakan untuk melangsungkan kegiatan kekufuran.

Keempat, batasan dalam bermuamalah dengan orang kafir sebagai berikut,

  1. Tidak membantu mereka untuk mengalahkan kaum muslimin secara langsung. Seperti menjual senjata atau alat perang yang mendukung mereka untuk memerangi kaum muslimin.
  2. Tidak membantu mereka untuk melakukan kemunkaran. Misalnya menjual anggur yang akan mereka gunakan untuk bahan khamr.
  3. Tidak memberi kesempatan mereka untuk menghina syariat islam. Seperti menjual mushaf al-Quran, yang sangat rentan bagi mereka untuk dihinakan.

Ibnu Qudamah mengatakan,

ولا يجوز تمكينه من شراء مصحف ولا حديث رسول الله صلى الله عليه و سلم ولا فقه فان فعل فالشراء باطل لأن ذلك يتضمن ابتذاله

Tidak boleh memberi kesempatan mereka untuk membeli mushaf al-Quran atau hadis Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau kitab fiqih. Jika dilakukan, jual belinya batal, karena semacam ini menyebabkan orang kafir menhinakannya. (al-Mughni, 10/614).

  1. Boleh menjual senjata di zaman perang kepada orang yang tidak membahayakan kaum muslimin.

Kelima, termasuk bentuk muamalah kepada orang kafir adalah bekerja di perusahaan milik orang kafir. Meskipun hal ini menguntungkan orang kafir dari sisi materi.

Allahu a’lam.

PengusahaMuslim.com didukung oleh .

Informasi

  • SPONSOR hubungi: 081 326 333 328
  • DONASI hubungi: 087 882 888 727
  • Donasi dapat disalurkan ke rekening: 4564807232 (BCA) / 7051601496 (Syariah Mandiri) / 1370006372474 (Mandiri). a.n. Hendri Syahrial

Artikel asli: https://pengusahamuslim.com/4261-hukum-bekerja-di-tempat-orang-kafir.html